Setiap hidup mempunyai hak untuk merasakan sesuatu yang disebut 'damai'. Tapi kedamaian adalah bukan tentang hidup, tapi kedamaian adalah tentang bersyukur dan keikhlasan.

Sabtu, 13 Oktober 2012

PELANGGARAN-PELANGGARAN SEPUTAR PERNIKAHAN YANG WAJIB DIHINDARKAN ATAU DIHILANGKAN ( bag 1 ).



Oleh: Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas


بسم الله الرحمن الرحيم

1. Pacaran
Sebelum melangsungkan pernikahan, sebagian besar orang biasanya ‘berpacaran’ terlebih dahulu. Hal ini biasanya dianggap sebagai masa perkenalan individu atau masa penjajagan atau dianggap sebagai perwujudan rasa cinta kasih terhadap lawan jenisnya.
Dengan adanya anggapan seperti ini, maka akan melahirkan konsensus di masyarakat bahwa masa pacaran adalah hal yang lumrah dan wajar, bahkan merupakan kebutuhan bagi orang-orang yang hendak memasuki jenjang pernikahan. Anggapan seperti ini adalah anggapan yang salah dan keliru. Dalam berpacaran sudah pasti tidak bisa dihindarkan dari berdua-duaan antara dua insan yang berlainan jenis, terjadi pandang memandang dan terjadi sentuh menyentuh. Perbuatan ini sudah jelas semuanya haram hukumnya menurut syari’at Islam.
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لاَ يَخْلُوَنَّ رَجُلٌ بِامْرَأَةٍ إِلاَّ وَمَعَهَا ذُوْ مَحْرَمٍ.
“Jangan sekali-kali seorang laki-laki bersendirian dengan seorang wanita, kecuali si wanita itu bersama mahramnya.” Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Ahmad (I/222), al-Bukhari (no. 1862) dan Muslim (no. 1341) dan lafazh ini menurut riwayat Muslim, dari Shahabat Ibnu ‘Abbas radhiyallaahu ‘anhuma.


Jadi, dalam Islam tidak ada kegiatan untuk berpacaran, dan berpacaran hukumnya haram.
Contoh lain yang juga merupakan pelanggaran, yaitu sangkaan sebagian orang bahwa kalau sudah tunangan (khitbah), maka laki-laki dan perempuan tersebut boleh jalan berdua-duaan, bergandengan tangan, bahkan ada yang sampai bercumbu layaknya pasangan suami-isteri yang sah. Anggapan ini adalah salah! Dan perbuatan ini adalah dosa dan akan membawa kepada perzinaan yang merupakan perbuatan dosa besar!

 

2. Tukar Cincin (Pertunangan)
Dalam peminangan biasanya ada tukar cincin sebagai tanda ikatan. Hal ini juga bukan dari ajaran Islam.Lihat Adabuz Zifaf fis Sunnah al-Muthahharah (hal. 99), cet. Daarus Salaam, th. 1423 H.
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam melarang kaum laki-laki untuk memakai cincin yang terbuat dari emas. Dari Abu Musa al-Asy’ari radhiyallaahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
أُحِلَّ الذَّهَبُ وَالْحَرِيْرُ ِلإِنَاثِ أُمَّتِي وَحُرِّمَ عَلَى ذُكُوْرِهَا.
“Emas dan sutra dihalalkan untuk wanita dari ummatku dan diharamkan atas laki-lakinya.” Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Ahmad (IV/392, 393, 394, 407), at-Tirmidzi (no. 1720).
Cincin pertunangan adalah tradisi orang-orang Nasrani, dimana mereka biasa memberikan cincin kepada calon pengantin sebelum dilangsungkannya pernikahan.
Syaikh Ibnu Baaz rahimahullaah berkata, “Kami tidak mengetahui dasar amalan ini dalam syari’at. Dan yang paling utama adalah meninggalkan hal tersebut, baik cincin itu terbuat dari emas, perak, atau selainnya.” Fataawaa al-Islaamiyyah (III/129).

3. Menuntut Mahar yang Tinggi
Menurut Islam sebaik-baik mahar adalah yang murah dan mudah, tidak mempersulit atau mahal. Memang mahar itu hak wanita, tetapi Islam menyarankan agar mempermudah dan melarang menuntut mahar yang tinggi.
Adapun cerita teguran seorang wanita terhadap ‘Umar bin al-Khaththab radhiyallaahu ‘anhu yang membatasi mahar wanita adalah cerita yang salah karena riwayat itu sangat lemah. Lihat Irwaa-ul Ghaliil (VI/347-348) dan al-Insyirah fi Adabin Nikah (hal. 35)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar